Memasuki datangnya hari raya Idul Fitri, aktivitas dan mobilitas masyarakat semakin meningkat, khususnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk merayakan hari yang dinanti-nantikan tersebut. Fenomena sosial yang amat mudah diamati menjelang hari raya Idul Fitri adalah arus mudik sehingga transportasi menjadi masalah utama menjelang dan sesudah hari raya Idul Fitri.
Berkenaan dengan fenomena mudik, sebenarnya kita tidak bisa mengatakan itu sebagai gejala set-back, kemunduran atau keterbelakangan. Di negara Amerika, sebuah negara yang diklaim sebagai negara modern pun gejala mudik atau fenomena mudik juga terjadi, yakni tepatnya pada saat mereka merayakan Thanks-giving Day. Di beberapa bandara terjadi luapan penumpang dan di mana-mana terjadilah fenomena traffic-jams atau kemacetan lalu-lintas.
Upaya membendung terjadinya luapan arus mudik atau bahkan budaya mudik bukan hal yang gampang karena hal ini berkaitan dengan dorongan alamiah atau fitri manusia, yakni mereka ingin kembali kepada hal-hal yang berdimensi asal, seperti ingin kembali kepada orang-orang yang paling dekat atau ibu-bapak dan saudara. Dorongan dan kerinduan yang bersifat natural atau fitri itu juga merupakan dorongan yang mengajak orang kembali kepada asalnya, yakni kesucian, ingin meminta maaf kepada mereka.
Dari segi ajaran agama, mudik merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yakni menjadikan Idul Fitri sebagai sarana atau medium bermaaf-maafan setelah menjalani tobat dan meminta maaf atau ampunan kepada Allah . Sebagai sarana meminta maaf, Idul Fitri juga merupakan ajang menjalin silaturahmi, menjalin kasih sayang yang dimulai dengan meminta maaf kepada orangtua dan sanak saudara. Hal ini pun kemudian menjadi hal yang sangat mendasar dalam melaksanakan dan merayakan Idul Fitri. Artinya, bagi para perantau, merayakan hari raya Idul Fitri tanpa mudik sepertinya non-sense, nyaris tak bermakna.
Di sisi lain, kepulangan beberapa pemudik ke daerah asal mereka juga ternyata membawa dampak ekonomi yang luar biasa, khususnya berkenaan dengan dampak pemerataan ekonomi ke daerah-daerah. Para pemudik di beberapa daerah tertentu, ketika pulang ada yang disambut oleh pemerintah daerahnya. Bahkan, ada yang dielu-elukan sebagai para pahlawan pembangunan bagi daerah mereka. Dengan begitu, tanpa disadari kegiatan perayaan Idul Fitri dengan mudiknya merupakan blessing under disguise, hal yang tampaknya tidak menguntungkan, tapi ternyata memberikan rahmat tersendiri.
Selain fenomena mudik adalah munculnya berbagai ragam cara dalam rangka memeriahkan datangnya hari Idul Fitri seperti pemukulan beduk dan takbir keliling, bahkan ada seremonial-seremonial tertentu yang memiliki tujuan sama. Berkenaan dengan budaya memukul beduk, mengingat tidak semua umat Islam memukul beduk, harus kita pahami bahwa hal itu sebenarnya hanya merupakan sebuah tradisi dan bukan hal yang prinsipal. Beduk pada awal mulanya bukan budaya Islam. Beduk berasal dari budaya Cina yang kemudian oleh para wali diperkenalkan ke dalam budaya Islam pada masa-masa penyebaran Islam di Nusantara. Hal yang sama juga dengan wayang dan gamelan.
Menyinggung masalah budaya luar, tidak hanya beduk dan wayang serta gamelan saja, tetapi masih banyak lagi budaya asing yang kemudian diadopsi ke dalam budaya Islam, mengingat Islam tidak datang dalam sebuah kelompok atau bangsa yang vacuum budaya. Dalam bidang arsitektur, kubah pada masjid ternyata berasal dari arsitektur Bizantium. Juga bangunan tempat azan atau menara (manârah) yang berasal dari kata nûr atau nâr yang berarti tempat api bagi penyembahan agama Majusi di Persia, Iran yang kemudian diintroduksi dan dimasukkan ke dalam budaya Islam menjadi menara masjid untuk tempat azan. Namanya diganti menjadi mi’dzanah, artinya tempat azan, namun ternyata kurang populer di kalangan umat Islam sendiri.
Dalam menjalankan ibadah shalat Idul Fitri, di Indonesia juga terjadi keragaman, ada yang melaksanakan di masjid dan ada pula yang melaksanakan di lapangan. Masing-masing memiliki argumen atau alasan dan itu adalah masalah ijtihad. Masalah ini terkadang memang menimbulkan perdebatan atau bahkan saling menyalahkan.
Namun satu hal yang perlu diingat adalah bukan kasus di dalam masjid atau di lapangan, yang lebih esensial adalah pada tingginya nilai kesadaran diri atau ketakwaan dengan menangkap dan memahami pesan-pesan dan makna Idul Fitri. Sebagaimana pada masa lalu dipertentangkan antara orang Islam dan Kristen berkenaan dengan kiblat atau arah untuk beribadah mereka—saat itu umat Islam masih menghadap ke arah Masjid Al-Aqsâ. Dan atas perintah dan petunjuk Allah ., Rasulullah mengganti kiblatnya ke Masjid Al-Haram atau ke arah Ka‘bah.
Kasus yang demikian itu akhirnya oleh Al-Quran dinilai sebagai meributkan atau mempertentangkan masalah yang tidak substansial, penting, atau mendasar, yang berbunyi, Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu beriman kepada Allah … (QS Al-Baqarah [2]: 177).
Kiblat sebagai poros atau pusat hanyalah sebagai simbolisasi dalam menunjukkan kebaktian dan yang terpenting adalah kemampuan menangkap makna pesan-pesan yang sesungguhnya. Sikap merasa dirinya paling baik dan benar, dan sebaliknya menuduh yang lain salah, adalah salah satu indikasi ketidakmampuan memahami pesan-pesan ajaran agama secara benar. Sikap yang menonjolkan kelompok dirinya paling benar itulah yang kemudian memunculkan sikap sektarianisme dalam beragama.
Sikap sektarianisme lahir karena ketidakmampuan menangkap makna dan pesan secara benar sehingga pada akhirnya justru akan memecah-belah kesatuan umat. Di sisi lain, tanpa disadari, sikap tersebut juga akan dengan mudah dipergunakan atau diperalat kelompok lain untuk mencapai kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan umat.
Selama merayakan Idul Fitri, juga dapat disaksikan dan ditemukan variasi dan keragaman dalam cara-cara meminta maaf atau dalam bersalaman. Ada yang dikenal dengan budaya sungkem. Budaya sungkem, yakni bersalaman atau meminta maaf dengan cara duduk di lantai, sedangkan orangtua duduk di kursi, seperti yang disaksikan dalam budaya Jawa. Tentu saja yang demikian itu sah-sah saja, selagi tidak diliputi oleh adanya mitos atau asumsi, anggapan sebagai praktik kultus atau penyembahan kepada orang tersebut.
Sungkem dimaksudkan sebagai perwujudan meminta maaf kepada orangtua yang diliputi tingginya rasa hormat. Ini dianjurkan Islam karena yang demikian sejalan dengan ajaran Islam yang mewajibkan orang beriman menghormati ibu bapaknya sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran, Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaknyalah kamu berbuat kepada ibu bapakmu sebaik-baiknya … (QS Al-Isrâ’ [17]: 23).
Dalam suasana yang lebih formal, saling bermaafan juga dilaksanakan dengan mengadakan halal-bihalal (halâl bi al-halâl). Bahkan budaya halalbihalal sudah menjadi budaya khas bangsa Indonesia. Halal-bihalal yang dimaksudkan sebagai pelaksanaan saling bermaafan dan silaturahmi tersebut tentunya tidak menjalani perintah ajaran Islam, bahkan sebaliknya menjadi acara yang memiliki nilai positif.
Ada baiknya sedikit disinggung bahwa berkaitan dengan dosa dalam Islam, setiap orang tentulah selama hidupnya pernah berbuat dosa, seperti yang disabdakan dalam hadis Nabi . yang berbunyi, “Setiap keturunan Bani Adam (manusia) pernah berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang membuat kesalahan adalah yang bertobat.”
Dosa atau perbuatan salah bisa tertuju kepada Allah . karena melanggar syariat-Nya atau kepada manusia. Berkaitan dengan dosa kepada Allah ., setiap orang beriman dianjurkan untuk melakukan tobat, apalagi dalam suasana bulan puasa yang identik dengan bulan tobat atau bulan penuh ampunan. Permohonan ampunan atau tobat dalam Islam dilakukan secara pribadi dan tidak memerlukan perantara, sebagaimana ajaran Islam tidak mengenal kultus atau mitos terhadap seseorang.
Dan perlu diketahui bahwa Allah . Maha Pengampun terhadap hamba-hambanya yang mau bertobat, sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa menyekutukan Allah, sesungguhnya ia telah berbuat dosa besar (QS An-Nisâ’ [4]: 48).
Dosa atau kesalahan kepada manusia dalam Islam akan diampuni apabila meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Dan yang demikian dalam Islam diistilahkan sebagai haqq-u ’l-’âdâmî atau hak manusia, sedangkan yang pertama, haqq-u ’l-ilâhî atau hak Allah .
Dengan selesainya ibadah puasa dan datangnya hari raya Idul Fitri dengan berbagai aktivitasnya, khususnya saling bermaafan, dengan sendirinya menjadikan hari raya Idul Fitri benar-benar mengandung makna fitri yang berarti kesucian. Orang beriman selama bulan puasa telah menjalani tobat, meminta ampunan Allah . sebagai simbolisasi dimensi vertikal. Kemudian disusul dengan permintaan maaf kepada sesamanya sebagai simbolisasi dimensi horizontal.
Selain itu, akhir-akhir ini di kalangan umat Islam juga berkembang budaya baru seperti yang terjadi di negara-negara maju. Yakni budaya mengirimkan kartu ucapan selamat kepada teman atau kerabat yang disebut greeting (tahiyyah). Budaya semacam itu tentunya baik-baik saja karena esensinya adalah meminta maaf kepada teman atau kerabat yang memang jauh. Dengan sendirinya silaturahmi tetap dapat dilakukan tanpa ada alasan jarak.
Adapun ungkapan selamat yang sering digunakan adalah ‘îd-u ’l-mubârak, Ja‘alanâ ’l-Lâh-u wa iyyâkum min-a ’l-‘âidîn wa ’l-fâizîn, dan Taqabbala ’l-Lâh-u minnâ wa minkum. Namun yang paling populer di kalangan masyarakat kita, dalam menulis atau mengucapkan selamat biasanya hanya mengatakan, min-a ’l-‘âidîn wa ’l- fâizîn.[]